Benarkah Seorang Stoik Selalu Tenang?

Oktober 09, 2024



Ketika masih baru mempelajari Stoikisme, aku berpikir bahwa seharusnya aku bisa lebih baik dalam mengelola emosi dan selalu menjaga diri tetap tenang, entah seberapa besar gangguan yang terjadi diluar sana.



Seorang Stoik, kan, dikenal ahli menjaga ketenangan dan bahkan sering dianggap nggak berperasaan. Namun, ternyata ini adalah sebuah kesalahpahaman. Anggapan bahwa seorang Stoik harus selalu tenang, sempat menjadi beban bagiku, terutama ketika aku sedang merasa gagal mengendalikan emosi.



Melalui tulisan ini, aku mau sharing tentang perjalananku yang masih seringkali sulit mengendalikan emosi. Kalau kamu mengenalku sebagai pribadi yang jarang marah atau emosi, kamu salah. Aku masih sering kok kewalahan mengendalikan diri. Meskipun sekarang sudah sangat berkurang, nggak seperti dulu yang suka meledak-ledak.


Di akhir tulisan, aku juga akan memberi beberapa tips, gimana caraku mengembalikan ketenangan diri.  



Baca Juga > Mengenal Stoikisme : Sebuah Filosofi untuk Hidup Lebih Bahagia dan Tenang


Ya, ada kalanya aku masih terjebak dalam emosi dan pikiran negatif, yang tentunya itu menguras energi dan menjauhkanku dari ketenangan batin. Nggak peduli seberapa keras aku berusaha untuk tetap tenang, kegelisahan selalu mengganggu. Biasanya, ini terjadi saat aku mengalami hari yang buruk—misalnya, ketika ada masalah di pekerjaan, bertemu dengan orang yang menjengkelkan, atau menghadapi banyaknya situasi di luar kendali.


Hidup, pada dasarnya, seringkali penuh dengan hal-hal nggak terduga dan nggak bisa kita kontrol, yang bisa mengguncang suasana hati. Dari masalah kecil hingga persoalan besar, semuanya bisa merusak mood dan mengikis pikiran positif. Semua ini menambah beban mental dan menyulitkan aku untuk tenang.


Ada juga hari-hari ketika perasaanku lebih sensitif dari biasanya. Buat kamu yang perempuan, mungkin kamu juga mengalami hal yang sama. Tiap bulan, kita pasti merasakan dampak dari siklus menstruasi. Biasanya, sebelum datang bulan (PMS), hormon menjadi nggak seimbang, dan itu mempengaruhi naik-turunnya emosi. Segala hal bisa terasa lebih menjengkelkan atau merasakan sedih yang ngga beralasan.


Selain itu, aku sering merasa media sosial juga bisa menjadi salah satu penyebab gangguan. Awalnya, mungkin aku hanya ingin sekedar mencari hiburan, tapi malah terjebak dalam arus informasi yang berlebihan. Tanpa disadari, konten yang aku serap kadang bikin overthinking. Akhirnya, pikiranku jadi penuh dan merasa kewalahan. Kalau sudah seperti itu, biasanya aku jadi lebih sensitif dan ngga bisa berpikir jernih.


Semua hal ini sering kali jadi alasan kenapa aku merasa sulit mengendalikan emosi dan sulit tenang. Seringkali aku merasa bersalah dan menyesal karena nggak bisa mengontrol diri dengan baik. "Padahal kan, aku sudah belajar Stoikisme, kok aku masih sering terbawa emosi dan ngga bisa menjaga ketenangan diri?"


Tapi akhirnya, aku menyadari bahwa aku tetap manusia biasa. Manusia, pada dasarnya, punya perasaan, dan kadang emosi bisa saja lebih dominan daripada akal.


Memahami Stoikisme bukan berarti aku harus meniadakan emosi. Bukan berarti juga setelah belajar Stoikisme, aku langsung bisa mempraktekkannya secara sempurna.


Semua ini butuh proses agar pengelolaan emosi menjadi kebiasaan. Lagipula, Stoikisme sebenarnya bukan tentang menekan emosi, melainkan tentang usaha terus-menerus untuk mengelola emosi dengan bijak. Yang penting adalah kita selalu berusaha untuk menjadi lebih baik, meskipun di tengah jalan kita mungkin melakukan kesalahan. Kita semua bisa mengalaminya, dan itu hal yang wajar.




“Training your mind to be more calm and logical is a long process. It takes long time and lots of ‘reps’ before Stoic thinking starts to come naturally” 

- Treuren (Stoic Simple News Letter)


Mengelola pikiran dan emosi itu nggak bisa dicapai secara instan. Butuh proses dan latihan berkelanjutan. Kemampuan untuk mengelola emosi negatif secara bijak nggak serta-merta datang begitu saja, melainkan harus diupayakan dengan kesadaran. Butuh pengulangan sampai akhirnya pola pikir Stoik muncul secara alami.


Setelah beberapa kali mengalami hal tersebut, aku mulai nggak memaksakan diri untuk selalu cepat tenang dan bijak. Aku membiarkan diriku mengambil jeda dan menjauh dari hal-hal yang memicu kekacauan emosi. Kuncinya, yang penting kita tetap rendah hati dan mengakui jika telah keluar dari jalur yang seharusnya.


Jangan terlalu keras pada diri sendiri untuk selalu stabil, karena jika dipaksakan, emosi negatif malah bisa menumpuk dan meledak kapan saja.




6 Tips Mengembalikan Ketenangan Diri

Daripada menyalahkan diri sendiri, ada beberapa hal yang biasanya aku lakukan ketika aku merasa sedang merasakan turbulensi emosi untuk mengembalikan ketenangan diri : 



1. Mengambil Jeda
Ketenangan diri seringkali muncul setelah kita memberi waktu untuk berhenti sejenak. Menarik napas dalam-dalam, mengambil jeda, dan menjauh dari rutinitas serta orang-orang di sekitar. Dengan menarik napas dalam, aku bisa menenangkan diri saat dilanda emosi negatif seperti marah, kecewa, atau sedih. Biasanya, aku memilih menyendiri supaya nggak mengganggu orang lain. Karena kalau emosi sedang nggak stabil, tindakan atau perkataan bisa saja tanpa disadari melukai perasaan orang lain.


Baca Juga : Tips Dari Stoik Biar Kamu Nggak Gampang Marah


"Ketika berbagai situasi seakan memaksa hingga kita benar-benar bingung, cepat-cepatlah menahan diri. Jangan terkurung di luar ritme itu lebih lama daripada yang seharusnya. Kamu akan dapat menjaga biramanya jika selalu kembali ke sana."  

- Marcus Aurelius (Meditations, 6.11)


2. Menulis Jurnal
Menulis jurnal pribadi adalah salah satu praktik yang sangat disarankan oleh filsuf Stoik. Seneca pernah berkata, "Hidup yang nggak diselidiki nggak layak dijalani," yang menegaskan pentingnya melakukan refleksi. Seneca juga memberikan tiga pertanyaan panduan untuk introspeksi: "Hal baik apa yang aku lakukan hari ini?", "Hal keliru atau salah apa yang aku lakukan hari ini?", dan "Bagaimana aku bisa memperbaiki diriku esok?"


Baca Juga > Journaling Ala Stoik


Menulis jurnal bukan hanya mencatat peristiwa, tetapi juga menggali perasaan dan pikiran. Ketika aku merasa buntu untuk menjawab pertanyaan di atas, aku memilih untuk menulis bebas tentang apa yang aku rasakan. Menumpahkan semua isi pikiran membantuku memilah hal mana yang bisa ku kendalikan, dan mana yang nggak bisa aku kendalikan. Ini sangat membantuku dalam memulihkan ketenangan.


3. Kembali Membaca Buku
Namanya manusia, kadang kita lupa. Aku sering membuka kembali buku-buku Stoikisme untuk mengingatkan diri tentang konsep-konsep yang telah aku pelajari. Dengan membaca ulang, semakin besar kemungkinan aku bisa menerapkan ilmunya. Kalau perlu, aku juga mencatat kutipan-kutipan penting di jurnal atau buku catatan khusus agar bisa segera kubuka saat dibutuhkan.


Baca Juga > 6 Petuah Stoik untuk Menghadapi Kegagalan 


4. Melakukan Aktivitas Fisik

Aku juga menyadari bahwa berolahraga, meskipun sederhana seperti jalan kaki, bisa sangat membantu meredakan gejolak emosi. Aktivitas fisik dapat membantu mengalihkan perhatian dari pikiran yang kacau dan menenangkan tubuh serta pikiran. Kadang, ketika suasana hati sedang nggak stabil, hanya dengan bergerak dan berolahraga ringan bisa memberi energi baru yang positif. 


5.  Refreshing Ke Alam

Biasanya, aku suka pergi sendiri, sekadar mencari waktu untuk merenung sambil menikmati suasana yang bisa bikin pikiranku lebih jernih. Aku sering sengaja motoran sendirian ke tempat yang hijau dan adem, karena suasana seperti itu bikin hati lebih tenang. Di sana, aku menyempatkan diri untuk duduk sendirian, menulis jurnal sambil ngopi dan menikmati ketenangan. Kadang, kalau di tempat biasa kita tetap nggak bisa menemukan kejernihan pikiran, pergi ke tempat baru bisa jadi pilihan yang tepat. Suasana baru dan segar sering kali membantu pikiran jadi lebih fresh dan bikin merenung jadi lebih mudah.


6. Membatasi Penggunaan Sosial Media

Di era sekarang ini, sosial media seringkali menjadi sumber gangguan yang bisa merusak ketenangan batin. Saat aku lagi merasa nggak tenang, biasanya aku memilih untuk membatasi penggunaan sosial media. Kadang-kadang, kalau sudah benar-benar merasa terganggu, aku bahkan sampai menonaktifkan akun sosial media untuk sementara. Ini jadi cara efektif buat menghindari arus informasi yang berlebihan dan memberi diriku ruang untuk merenung tanpa distraksi. Dengan membatasi paparan terhadap dunia maya, aku bisa lebih fokus pada diri sendiri dan kembali menemukan ketenangan yang dibutuhkan.



Pada akhirnya, menjadi seorang Stoik bukan berarti kita harus selalu tenang atau bebas dari emosi. Sebaliknya, Stoikisme mengajarkan kita untuk merangkul emosi, memahaminya, lalu mengelolanya dengan bijaksana. Ini adalah sebuah perjalanan yang membutuhkan proses, bukan sesuatu yang bisa langsung dicapai. Yang terpenting bukanlah selalu berhasil menjaga ketenangan, tapi bagaimana kita mampu bangkit setiap kali terbawa emosi, dan bagaimana kita bisa menemukan kembali ketenangan diri setelahnya.


Salam,
Prokopton

Referensi :
Stoic Simple News Letter - The Secret to Stoic Thinking (5 Maret 2024)

Holiday & Hanselman. Setiap Hari Stoik : 366 Renungan untuk Menjalani Kehidupan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

2 komentar:

  1. selalu suka sama tulisanmu dan terus menantikan tulisan-tulisan selanjutnya!

    BalasHapus
  2. Tulisan yang bagus, aku suka. Terima kasih untuk tips mengelola emosi. Au tunggu tuisanmu selanjutnya !

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.