Sebuah Refleksi : Kurangi Mengeluh, Perbanyak Progres
Belakangan ini, banyak hal yang terjadi, dengan berbagai macam tantangan dan perubahan. Perasaan naik turun begitu terasa, dan aku harus melakukan banyak penyesuaian dengan aktivitas baruku sebagai PKKP Jateng, yang menuntutku untuk berhubungan dengan banyak orang. Sebagai fasilitator komunitas, aku sering berinteraksi dengan masyarakat di desa tempat penempatanku. Beragam karakter orang, banyaknya situasi ngga terduga yang terjadi, tuntutan target bulanan, sempat menjadi tekanan tersendiri.
Sedikit flashback, Bulan April lalu, aku benar-benar merasa kewalahan dan ngga bisa membagi waktu antara kegiatan PKKP dengan waktu untuk diriku sendiri. Sampai merasa ada yang salah dengan caraku menjalani hidup. Aku merasa semakin jauh dari kedamaian batin karena keterbatasan waktu untuk menyendiri membuat aku kehilangan koneksi dengan diri sendiri. Hidupku saat itu dijalani dengan autopilot, tanpa kesadaran penuh, lebih banyak mengeluh. Mungkin orang-orang disekitarku juga menyadari perubahan emosiku.
Meskipun aku lulusan Sosiologi, yang sudah dibekali banyak ilmu tentang masyarakat, nyatanya realita di lapangan tetap berbeda. Ngga semudah teori yang dipelajari. Tetap butuh waktu untuk bisa mengatur ritme kerja yang pas. Kerja di tengah-tengah masyarakat dan teman satu tim yang karakternya bermacam-macam juga membutuhkan penyesuaian tersendiri untuk betul-betul bisa memahami mereka.
Bekerja dilingkungan yang sangat beragam juga ngga bisa menghindari yang namanya konflik, baik internal maupun eksternal. Bagian yang paling memberatkan adalah tuntutan dan ekspektasi dari masyarakat di sana serta dari tim teknis pusat. Begitu juga dengan beban kerja yang tidak sesuai dengan tugas pokok, cukup membuat stress. Bulan April kemarin mungkin menjadi masa terberatku, sampai rasanya sedikit menyesali pilihanku ikut PKKP.
Memasuki Bulan Mei, aku mulai mengerti ritme kerjanya seperti apa, bagaimana cara menyikapi karakter masyarakat desa penempatan dan mulai memahami karakter rekan-rekan satu tim seperti apa. Dari situlah, aku mulai bisa menyesuaikan bagaimana cara ku harus bekerja dan membagi waktu. Bagaimana caranya berelasi dengan masyarakat dan teman tim.
Belajar dari bulan April, aku merasa terlalu banyak mengeluh. Siapapun yang bisa aku ajak bicara, akan menjadi tempat keluh kesahku. Padahal apa sih yang aku dapat dari mengeluh? Lega? Iya sih sesaat, tapi beban yang aku keluhkan juga tetap ada, ngga berkurang. Malah yang ada aku buang-buang waktu cuma buat mengeluh.
"Atasan menyuruh kita mengerjakan sesuatu yang tidak berhubungan dengan pekerjaan kita. Alih-alih merasa jengkel, lakukan apa yang diminta dan lupakan. Jangan membuat sesuatu yang sepele menjadi sumber penderitaan dengan menghabiskan waktu dan tenaga untuk memikirkannya tanpa henti" - Haemin Sunim (The Things You Can See Only When You Slow Down), p. 51
Aku anggap bulan pertama sebagai proses adaptasi yang memang perlu aku lalui. Setelah aku sadar bahwa bulan pertama aku terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mengeluh, dibulan Mei, aku memulai untuk lebih memperbanyak progres. Apapun yang telah ditugaskan untukku, akan aku kerjakan sebaik mungkin. Tapi disisi lain aku juga ngga lagi memaksakan diri untuk memenuhi segala tuntutan dan ekspektasi dari masyarakat, yang terpenting aku tetap berprogres dan mengusahakan semaksimal mungkin sesuai kemampuanku. Aku menyadari juga bahwa aku juga punya keterbatasan dan ngga bisa memenuhi harapan semua orang.
Rasanya ada spirit baru di Bulan Mei. Meskipun sebetulnya lebih sibuk dari Bulan April, tapi aku jauh lebih enjoy menjalankan tugasku. Seperti kata Kadinporapar Purbalingga, Pak Budi "Niatkan program ini untuk ibadah, kalau niatnya untuk ibadah pasti menjalaninya akan lebih ringan." Aku setuju, kerja untuk masyarakat harus diniatkan sukarela, meskipun aku dapat uang saku tiap bulannya. Kenapa? karena kalau udah orientasinya itungan soal waktu (jam kerja), soal bayaran, soal jobdesk akan sulit untuk bisa kerja dengan masyarakat. Kalau belajar dari Kades Desa Banjaran, Pak Ichmun, "Kerja untuk masyarakat itu niatnya untuk mengabdi supaya punya karya yang bermanfaat dan dikenang dan tidak memikirkan imbalan."
Selagi masih ada kesempatan sampai Bulan Desember, aku mau menjalani tugasku dengan baik. Memberikan yang terbaik bukan semata-mata hanya untuk memenuhi harapan masyarakat, tapi terlebih lagi demi kebaikan diriku sendiri. Karena kalau aku bisa memberikan hal baik disana, itu juga akan berpengaruh untuk kebaikanku sendiri. Apa yang kita tanam, itu yang kita tuai. Yang namanya kerja, dimanapun, pasti akan lelah, akan ada masalah, kita yang harus bisa menyikapi itu semua dengan lebih bijak.
Bekerja di lapangan yang bersinggungan langsung dengan masyarakat, juga harus mau mengosongkan gelas dan terus belajar dari setiap pengalaman baru yang ada. Harus mengesampingkan ego pribadi, karena ego seringkali membuat kita sulit menerima kritik dan saran yang sebenarnya membangun. Hal yang aku pelajari lagi setelah aku terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, yang terpenting adalah ngga menghindari konflik. Pekerjaan yang menuntut berhubungan dengan berbagai macam pihak harus mengutamakan "kepentingan bersama" dan menjaga hubungan baik diatas kepentingan pribadi yang bisa mengganggu kenyamanan bersama.
Seiring waktu berjalan, aku semakin menyadari bahwa proses adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan menuju pertumbuhan pribadi. Setiap tantangan dan kesulitan yang aku hadapi tidak lain adalah bagian dari bekal untuk meng-upgrade diri menjadi manusia yang lebih baik. Dalam menjalani tugasku sebagai PKKP, aku belajar untuk lebih bersyukur dan menerima setiap perubahan dengan lapang dada. Meski kadang masih ada rasa tertekan dan kesulitan, aku yakin bahwa setiap langkah kecil yang lakukan saat ini akan membawaku mendekati tujuanku yang lebih besar di depan sana. Sudah saatnya aku tidak lagi melihat masalah sebagai beban, tetapi sebagai batu loncatan untuk melompat lebih tinggi.
Kurangi mengeluh dan perbanyak berprogres!
Tidak ada komentar: