Mengenal Stoikisme : Sebuah Filosofi untuk Hidup Lebih Bahagia dan Tenang
Setiap individu pasti menginginkan hidup yang penuh ketenangan dan kebahagiaan. Namun, bahagia dan damai tidak bisa muncul dengan sendirinya. Diri kita sendiri yang bertanggung jawab untuk menciptakannya.
Kebahagiaan bisa dicapai dengan mengarahkan perhatian kita terhadap hal-hal yang bisa kita kendalikan. Akan tetapi, saat ini banyak orang yang merasa hidupnya tidak tenang karena mereka terlalu fokus pada aspek-aspek di luar kendali mereka. Terlalu banyak memikirkan hal-hal di luar kendali juga dapat menjauhkan kita dari kebahagiaan.
Belakangan ini, Filsafat Stoikisme semakin diminati oleh masyarakat modern yang tengah mencari kebahagiaan dan ketenangan batin.
Kebahagiaan yang sesungguhnya itu berasal dari dalam diri sendiri, bukan dari luar. Lantas, sebenarnya apa esensi dari stoikisme? Bagaimana filsafat ini dapat membantu kita meraih kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup?
Poin-Poin Pembahasan :
> Apa itu Stoikisme?
> Tokoh-Tokoh Stoikisme
> Prinsip-Prinsip Penting Stoikisme
- Selaras dengan Alam
- Dikotomi Kendali
- Mencintai Nasib (Amor Fati)
- Mengingat Kematian (Memento Mori)
- Membayangkan Kemungkinan Buruk (Premeditatio Malorum)
> Stoikisme dan Hidup Bahagia
> Kesimpulan
Apa itu Stoikisme?
Stoikisme adalah sebuah pemikiran filsafat kuno yang berkembang di era Yunani Kuno pada abad ke-3 SM.
Melalui dokumen-dokumen pribadi yang ditinggalkan oleh berbagai tokoh sepanjang sejarah Stoikisme, mulai dari kaisar, tokoh penguasa, dramawan, bahkan budak, prinsip-prinsip yang telah ada selama 2000 tahun ini masih memiliki relevansi yang dapat kita terapkan dalam kehidupan saat ini. Karya-karya mereka menyimpan hikmah yang luar biasa dan menjadi pondasi utama bagi Stoikisme, filosofi kuno yang dulu sangat populer di dunia Barat.
Filosofi ini diadopsi oleh berbagai kalangan masyarakat dalam upaya meraih "kehidupan yang baik".
Stoikisme menekankan pada kemampuan pengendalian diri manusia. Konsep ini mengajarkan agar mampu mengatasi emosi negatif yang berpotensi merugikan.
Kuncinya terletak pada penerimaan terhadap hal-hal yang tidak dapat diubah, di sisi lain berani untuk mengubah hal-hal yang memungkinkan untuk diubah.
Dikutip dari Filosofi Teras, tujuan utama stoikisme adalah mencapai keadaan bebas dari emosi negatif seperti kesedihan, kemarahan, keraguan, dan lainnya, dengan tujuan untuk mendapatkan ketenangan dalam hidup. Ketenangan ini diperoleh melalui kemampuan kita untuk mengendalikan hal-hal yang dapat kita kendalikan.
Stoikisme mengajak kita untuk memupuk kebajikan dalam kehidupan sehari-hari, yang dikenal sebagai "virtues". Terdapat empat kebajikan utama dalam pandangan Stoikisme yaitu kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan pengendalian diri.
Dalam pandangan Stoikisme, sasaran utamanya bukanlah mencari kebahagiaan semata, melainkan lebih menekankan pada kemampuan mengendalikan diri, yaitu mengatasi emosi negatif dan mengembangkan kebajikan dalam perilaku kita.
Tokoh-Tokoh Stoikisme
Equestrian Statue of Marcus Aurelius, gilded bronze, c. 173-76 C.E. (Capitoline Museums, Rome). Picture by https://www.khanacademy.org/ |
Zeno
Zeno adalah tokoh pendiri Stoik pertama di Athena. Saat itu, Zeno mengalami kerugian besar akibat kapal yang ia tumpangi tenggelam beserta dengan seluruh barang dagangannya. Hal ini justru membawanya mengenali ajaran Stoikisme. Zeno memperoleh pengetahuan filsafat dari Socrates dan Crates setelah kejadian tragis kapalnya yang tenggelam. Setelah itu, ia memulai mengajar filosofinya sendiri di Stoa Poikile, yaitu teras berpilar yang menjadi tempat berkumpulnya para filsuf Stoik di Athena kala itu. Stoa Poikile menjadi tempat penting di mana Zeno mulai menyampaikan ajaran filsafatnya, dan inilah alasan mengapa aliran ini dikenal dengan "Stoicisme". Pada mulanya, para murid zeno disebut "Zenonian", sebelum akhirnya dikenal dengan sebutan "Stoik".
Seneca
Seneca adalah Filsuf Stoik yang hidup pada zaman Romawi yang kompleks dan penuh perubahan. Ia dikenal juga sebagai penulis Romawi, penulis drama dan orator, serta memegang peran penting sebagai tutor dan penasihat bagi kaisar Romawi, Nero.
Seneca termasuk seseorang yang kaya pada masa itu, dimana kekayaannya sebagian besar berasal dari pelayanannya pada Nero. Meskipun ia kaya dan menjadi penasihat kaisar, ia tetap setia pada ajaran Stoik. Seneca pernah diasingkan dan menghadapi ancaman kematian, namun ia tetap tenang dan bijaksana.
Seneca dikenal atas karya-karyanya dalam bentuk surat, beberapa diantaranya yang terkenal adalah "On the Shortness of Life," yang mengingatkan tentang pentingnya waktu, dan "Letters from a Stoic," berisi kumpulan surat yang memberikan nasihat berharga mengenai masalah seperti kekayaan, kesedihan, dan kesuksesan.
Pemikiran Seneca telah mempengaruhi tokoh-tokoh sejarah seperti Pascal, Francis Bacon, dan Montaigne.
Epictetus, filsuf Yunani aliran Stoa (55 M - 135 M), lahir di Hierapolis, Turki. Ia adalam mantan budak. Epictetus belajar Stoic dari Musonius Rufus. Pada tahun 90 M, Epictetus pernah diusir oleh Domitianus karena dukungan Stoik terhadap lawan-lawannya, lalu ia menghabiskan sisa hidupnya di Nikopolis.
Meskipun Epictetus tak pernah menuliskan sendiri, ajarannya dituliskan oleh muridnya, Arrian dalam "Discourses" dan "Encheiridion". Ajarannya menekankan pada etika dan pengendalian diri. Ia meyakini bahwa satu-satunya yang benar dalam kendali individu adalah kehendak dan tujuannya, yang diberikan oleh Tuhan dan tak terpengaruh oleh faktor luar. Menurut Epictetus, semua manusia memiliki kesamaan dengan keilahian dan harus hidup sesuai kehendak Tuhan dan alam. Epictetus mengajarkan penerimaan atas baik-buruk yang di luar kendali serta menghadapi segala peristiwa dengan bijaksana.
Marcus Aurelius
Marcus Aurelius merupakan kaisar Romawi (161 - 180 M). Karyanya yang terkenal, "Meditations", menggambarkan tentang Filosofi Stoa dan memunculkan pengharuhnya sebagai simbol kejayaan Kekaisaran Romawi.
"Meditations" berupa catatan harian yang berisi pemikiran serta refleksi pribadi Marcus Aurelius selama masa pemerintahannya yang penuh tantangan. Nampaknya, tujuan dari penulisan "Meditations" adalah untuk memberi dukungan atau menguatkan diri Marcus sendiri dalam menghadapi tanggung jawab beratnya saat itu.
Dalam "Meditations", Marcus mengimplementasikan prinsip-prinsip etika Stoik yang ia pelajari dari Epictetus. Marcus Aurelius menegaskan pentingnya melakukan tindakan baik dengan tulus, seperti memberi makan kepada yang lapar, tanpa memikirkan apakah tindakan tersebut dianggap baik atau buruk. Marcus juga mengajarkan bahwa tindakan baik tidak boleh diikuti oleh tuntutan imbalan atau pujian dari orang lain. Baginya, tindakan baik adalah bagian dari hukum alam yang harus dilaksanakan tanpa pamrih, dan reaksi orang lain tidak boleh mempengaruhinya.
Baca juga : Mengarungi Arus Hidup dengan Tangguh (Buku Filosofi Teras)
Prinsip-Prinsip Penting Stoikisme
1. Selaras dengan Alam
Stoikisme mengajarkan bahwa alam semesta telah diatur oleh hukum alam yang tak tergoyahkan. Prinsip keselarasan dengan alam menurut Stoikisme diartikan dalam pengertian yang mencakup keseluruhan alam semesta dan semua makhluk yang menghuninya. Hidup selaras dengan alam dalam Stoikisme, berarti hidup sesuai desain manusia sebagai makhluk berakal. Akal ini digunakan untuk hidup bermoral dan menjalin hubungan yang rasional dengan sesama manusia. Beberapa filsuf Stoik mengidentikkan alam semesta sebagai Tuhan. Konsep ini sering disamakan dengan "Takdir". Stoikisme percaya bahwa segala hal di alam semesta ini berjalan sebagaimana semestinya, maka dari itu kita harus menerima segala kenyataan yang tidak dapat diubah agar hidup damai.
2. Dikotomi Kendali
Dikotomi kendali merupakan prinsip Stoik yang merujuk pada pemahaman tentang apa yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan. Dikotomi kendali merupakan salah satu prinsip yang paling penting dan mendasar dalam Stoikisme.
"Ada hal-hal yang berada dalam kendali kita, dan ada hal-hal yang berada di luar kendali kita. Dalam kendali kita adalah pendapat, tujuan, keinginan, ketidak inginan, dan dalam satu kata, segala urusan yang menjadi milik kita sendiri. Di luar kendali kita adalah tubuh, harta, reputasi, jabatan, dan dalam satu kata, apapun yang bukan urusan kita sendiri."- Epictetus.
Stoikisme menekankan bahwa satu-satunya hal yang benar-benar ada dalam kendali individu adalah diri sendiri, meliputi pemikiran, tindakan, dan respons terhadap hal-hal eksternal. Tujuan utamanya adalah kontrol atas emosi dan reaksi terhadap peristiwa luar.
Sementara itu, Stoikisme tidak terlalu bergantung pada hal-hal eksternal seperti kekayaan, jabatan, dan faktor eksternal lainnya untuk mencapai kebahagiaan. Karena kebahagiaan yang sejati berasal dari kebijaksanaan dan kebajikan yang dibangun dari dalam diri.
Dengan membagi kendali dalam dua kategori : hal yang dalam kendali kita dan hal yang di luar kendali. Kita seharusnya dapat memusatkan diri pada hal-hal yang berada dibawah kendali, sementara hal-hal di luar kendali harus diterima dengan tenang.
3. Mencintai Nasib (Amor Fati)
Istilah 'Amor Fati' berasal dari bahasa Latin yang berarti 'mencintai takdir'. Amor Fati mencerminkan sikap dimana seseorang tidak hanya menerima segala peristiwa dalam hidup (tantangan, penderitaan, kesulitan, dsb), tetapi juga secara sungguh-sungguh mencintainya.
Mencintai nasib artinya kita menerima dan merangkul segala sesuatu yang sudah terjadi, sedang terjadi, sampai yang belum terjadi. Stoikisme memahami bahwa alam semesta senantiasa berubah, dan tanpa perubahan itu, eksistensi kita, emosi kita, relasi kita, dan pertumbuhan diri kita tidak mungkin ada.
"Do not seek for things to happen the way you want them to; rather, wish that what happens, happen the way it happens: then you will be happy" - Epictetus (Enchiridion)
"Jangan menuntut peristiwa terjadi seperti yang kamu inginkan; sebaliknya, berharap apapun terjadi seperti yang seharusnya terjadi: maka kamu akan bahagia"
Stoikisme mendorong kita untuk mencintai nasib dengan melihat segala kejadian yang baik maupun buruk sebagai kesempatan untuk pertumbuhan dan belajar.
4. Mengingat Kematian (Memento Mori)
Frasa 'memento mori' berasal dari bahasa Latin, terjemahan bahasa Inggrisnya, "Remember you must die", artinya 'ingat bahwa kamu akan mati' atau 'ingat kamu fana'.
Mengingat kematian bukan untuk menciptakan reaksi ketakutan, melainkan untuk memberikan inspirasi, motivasi dan pemahaman yang jelas.
"Marilah menyiapkan pikiran kita seakan kita sudah tiba di ujung usia kita. Marilah kita tidak menunda apa pun. Mari menutup buku kehidupan setiap harinya... Orang yang membuat sentuhan akhir pada hidup mereka tidak akan pernah kekurangan waktu." -Seneca (Moral Letters)
Menurut Stoikisme, dengan mengingat kematian akan mempengaruhi cara kita menghabiskan waktu sehari-hari kita. Berpura-pura bahwa hari ini adalah hari terakhir kita, menjadikan kita lebih menghargai waktu dan menggunakannya untuk sesuatu yang benar dan penting.
Memahami bahwa kematian dapat datang kapan pun, menyadarkan kita bahwa sebaiknya kita tidak menunda berbuat baik selama kita masih diberi kesempatan hidup, seperti tidak menunda memaafkan, tidak menunda memberi bantuan, tidak menunda memberi cinta dan kasih sayang untuk orang-orang terdekat, dan lain-lain.
Kaum Stoa mengajarkan bahwa dengan menyadari bahwa hidup hanya sementara, kita akan bisa memahami bagaimana menjalani hidup dengan baik. Ini adalah suatu paradoks yang menarik, merenungkan tentang kematian, sesungguhnya dapat membantu kita menjalani kehidupan yang lebih baik, lebih bermakna, bersyukur, dan secara penuh hadir untuk saat ini.
5. Membayangkan Kemungkinan Buruk (Premeditatio Malorum)
"Musibah terasa paling berat bagi mereka yang hanya mengharapkan keberuntungan."- Seneca (On Tranquility of Mind)
'Premeditatio Malorum' atau 'Premeditation of evils' adalah istilah Latin, yang secara sederhana adalah latihan mental dengan cara membayangkan skenario buruk yang mungkin terjadi.
"Musibah terasa lebih berat jika datang tanpa disangka, dan terlalu terasa lebih menyakitkan. Karenanya, tidak ada sesuatu pun yang boleh terjadi tanpa kita sangka-sangka. Pikiran kita harus selalu memikirkan semua kemungkinan, dan tidak hanya situasi normal saja. Karena adakah sesuatu pun di dunia yang tidak bisa dijungkirbalikkan oleh nasib?." - Seneca (Moral Letters)
Contohnya, saat mengajukan lamaran pekerjaan di sebuah perusahaan. Pikirkan bahwa mungkin kita tidak lulus seleksi, kita dihadapkan pada pertanyaan sulit oleh HRD, gagal dalam wawancara, dan situasi lainnya. Ini adalah kondisi yang bisa menggoyahkan semangat jika kita tidak memikirkannya sebelumnya. Tetapi dengan memvisualisasikan potensi masalah ini terlebih dahulu, saat situasi tersebut terjadi, kita tidak akan merasa terkejut karena sudah pernah membayangkan kemungkinan buruk tersebut.
Stoikisme dan Hidup Bahagia
Sekali lagi, tujuan utama dari Stoikisme bukanlah mengejar kebahagiaan. Tujuan utama yang ingin diraih Stoikisme adalah "Ataraxia" (ketenangan batin), yaitu mencapai kedamaian dalam pikiran. Menjalani hidup dengan terbebas dari rasa gelisah, takut, dan cemas. Menghindari diri terombang ambing dari emosi negatif tersebut dengan cara hidup dengan penuh kebajikan dan kebijaksanaan.
Karena 'kebahagiaan' itu sangat abstrak dan relatif bagi tiap individu, maka tujuan sejatinya bukanlah mencari kebahagiaan itu sendiri, melainkan menjalani hidup dengan sebaik-baiknya dan menjadi individu yang lebih baik setiap saat. Kebahagiaan muncul sebagai hasil alami dari hidup yang dijalani dengan baik.
Filsafat merupakan cara untuk mencapai kebebasan batin (auterkeia), dimana "kebebasanku sepenuhnya bergantung pada diriku sendiri". Meskipun kebahagiaan tidak dapat dijadikan sebagai tujuan utama, dapat dipahami bahwa filsafat berfungsi sebagai jalan menuju keadaan bahagia. Filsafat dapat menjadi praktik untuk menjalani kehidupan (Wibowo, 2019).
Kebahagiaan yang tahan lama bagi Stoikisme adalah kebahagiaan yang berasal dari kebijaksanaan dan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip moral.
Kesimpulan
Menerapkan prinsip-prinsip Stoikisme dalam kehidupan sehari-hari, memungkinkan diri kita untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan yang lebih mendalam. Kuncinya adalah pengendalian diri yang baik, memahami batas kendali kita, merenungkan situasi yang mungkin dapat terjadi, menerima segala aspek yang terjadi dalam hidup, serta terus menerus membangun karakter yang baik, kita dapat mengatasi tantangan kehidupan dengan lebih bijak. Dengan memisahkan emosi dari kejadian, mengendalikan diri, dan melihat kematian sebagai sebuah pengingat, kita bisa menjalani hidup dengan lebih rasional dan bermakna. Prinsip-prinsip penting Stoikisme memberikan landasan yang kuat untuk hidup lebih damai dan bermakna.
Referensi :
Manampiring, Henry. 2018. Filosofi Teras. Jakarta : Penerbit Buku Kompas
Who Is Zeno? An Introduction to the Founder of Stoicism https://dailystoic.com/zeno/
What Is Stoicism? A Definition & 9 Stoic Exercises To Get You Started https://dailystoic.com/what-is-stoicism-a-definition-3-stoic-exercises-to-get-you-started/
Who Is Seneca? Inside The Mind of The World’s Most Interesting Stoic https://dailystoic.com/seneca/
Marcus Aurelius : Biography, Meditations, and Facts https://www.britannica.com/biography/Marcus-Aurelius-Roman-emperor/The-Meditations
Epictetus : Stoic Philosophy, Enchiridion & Discourses https://www.britannica.com/biography/Epictetus-Greek-philosopher
Tidak ada komentar: