Tentang Keluarga
Konon katanya, keluarga adalah tempat untuk mencurahkan dan menerima kasih sayang, tempat untuk berlindung, tempat pelipur lara, tempat bercerita, tempat untuk mendapat kebahagiaan dan lain sebagainya. Tetapi kenyataannya, ngga semua keluarga seperti itu. Namanya juga kehidupan pasti ngga lepas dari yang namanya permasalahan.
Ngga semua keluarga terus-terusan harmonis, ngga semua orang tua bisa memperlakukan anaknya dengan baik, ngga semua orang tua mau mengerti anaknya, ngga semua orang tua bisa menunjukkan kasih sayangnya, ngga semua orang tua tau gimana cara menghibur anaknya yang lagi sedih, bahkan mereka ngga tau kalau anaknya lagi sedih. Kira-kira begitulah gambaran situasiku saat aku duduk dibangku SMP atau saat berumur 14 tahun.
Arti keluarga berubah seketika saat orang tuaku mulai menceritakan kepadaku tentang segala permasalahan yang menimpa mereka. Sebelum orang tua bercerita, sesungguhnya aku sebagai anak pun sudah merasakan bahwa keluargaku sedang tidak baik-baik saja. Dalam sekejap aku sedih, jatuh, sekaligus marah.
Permasalahan terbesar keluargaku adalah finansial. Kalau dipikir sekarang, sebetulnya permasalahan ini memang sering dijumpai di setiap keluarga. Aku merasa bahwa, berawal dari permasalahan finansial itu akhirnya melebar ke permasalahan lainnya. Saat itu, orang tua memintaku untuk bisa mengerti segala keadaan yang terjadi pada saat itu. Dari situlah aku merasa harus "memikul beban". Sebagai anak perempuan pertama, aku "merasa dipaksa" untuk menjadi dewasa ketika usiaku masih remaja, dimana aku harus belajar mengerti orang tua, mengalah pada adik, menjadi contoh yang baik untuk adik, menguatkan diri sendiri, menyimpan kekesalan dan kesedihan sendiri, dsb.
Segala permasalahan yang yang terjadi saat itu membawa banyak perubahan dalam diriku. Aku berubah menjadi pribadi yang tertutup, suka menyendiri, tidak suka bergaul. Bahkan, impianku untuk kuliah sudah terkubur sebelum aku masuk SMA. Aku menjadi pribadi yang temperamen dan suka melampiaskan amarah kepada dua adikku (aku sangat menyesali hal ini sekarang). Aku merasa kesal dan terbebani dengan menjadi anak perempuan sulung dan mempunyai dua adik saat itu. Saat itu aku merasa ngga bisa menerima bahkan selalu menyalahkan orang tua dan keadaan.
Aku selalu menganggap diriku sebagai korban dan merasa ini semua tidak adil. Aku merasakan kesepian, bener-bener kesepian karena ngga ada orang lain yang bisa aku jadikan tempat untuk bergantung, seseorang yang bisa menjadi panutan, seseorang yang bisa memberi tahu aku apa yang harus aku lakukan. Pada akhirnya, aku merasa diri ini dibentuk menjadi pribadi yang harus mandiri, tidak suka minta tolong dan tidak berani untuk meminta-minta sesuatu, selalu berusaha kuat.
Semua itu sudah berlalu, melewati proses yang panjang hingga kurang lebih 6 tahun sampai akhirnya aku benar-benar bisa menerima semua keadaan di atas. Akhirnya aku bisa menerima segala hal yang menimpa diriku dan mempunyai pemikiran yang lebih terbuka. Semua itu berawal dari aku mencoba untuk belajar memaafkan dan menerima semua situasi, permasalahan, keadaan dua orang tuaku, merenima apa adanya mereka.
Aku mulai menyadari bahwa cinta dan kasih sayang yang tulusitu adalah dengan cara tidak menuntut mereka untuk bertindak seperti apa yang aku inginkan atau yang aku harapkan. Aku percaya kutipan yang berbunyi "Perfect parents is doesn't exist". Orang tua juga manusia yang sangat amat wajar untuk tidak sempurna dan punya kesalahan. Perlahan-lahan aku belajar dan merubah mindset. Aku sekarang lebih memilih untuk mencari makna lain dari setiap situasi yang aku alami.
Aku percaya apapun yang orang tuaku lakukan untukku adalah hal terbaik versi mereka yang bisa mereka lakukan. Sebagai seorang introvert, aku memang suka mengamati keadaan sekitar, menelaah dan menganalisis perilaku orang lain. Seseorang akan melakukan suatu tindakan itu biasanya ada alasan yang melatar belakanginya. Setelah aku telisik lebih jauh, aku baru tau latar belakang kedua orang tuaku, mereka sesungguhnya juga tidak memiliki keluarga yang utuh dan tidak memiliki figure orang tua yang baik untuk mereka contoh. Sehingga apa yang mereka lakukan sekarang ini kepadaku, aku yakin sudah terbaik versi mereka.
Mulai saat ini dan seterusnya aku akan mencoba untuk menerima segala keadaan dan situasi yang terjadi dan mengambil hikmahnya. Epictetus berkata bahwa "Jangan menuntut peristiwa terjadi sesuai keinginanmu, tetapi justru inginkan agar hidup terjadi seperti apa adanya, dan jalanmu akan baik adanya". Dari pada aku terus berandai-andai dan menunggu agar keadaan berubah, lebih baik aku yang berubah. Karena kalau cuma ditunggu, keadaan ngga pernah akan berubah.
Di tahun 2019, pertama kalinya aku benar-benar ingin merubah dan memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan tidak memaksakan untuk merubah keadaan atau orang lain sesuai keinginanku. Sebelum dapat mengatasi permasalahan orang lain, pertama-tama aku harus membereskan permasalahan dalam diriku. Aku mulai belajar bagaimana berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu dengan cara mengarungi jauh ke dalam jiwaku, terus menerus intropeksi diri, dan memperjelas tujuan diriku. Stephen R. Covey juga mengatakan bahwa "Jika kamu ingin mengubah situasi, pertama-tama ubah dulu dirimu".
Kutipan lain menyebutkan juga bahwa "Mula-mula, kau harus mengubah dirimu sendiri, atau tidak akan ada yang berubah untukmu"- Sakata Gintoki (Gintama). Aku mulai mengubah pola pikir dengan tidak menganggap segala keadaan sulit yang terjadi sebagai beban dan aku korbannya. Dulu aku selalu menganggap diriku sebagai korban, sehingga aku terus merasa "menderita" atas segala hal yang menimpaku. Sekarang aku punya pilihan lain untuk tidak menganggap diri sendiri sebagai korban dan juga tidak menganggap bahwa anak sulung harus memikul beban. Stoikisme mengajarkan bahwa, "Kita tidak bisa memilih situasi kita, tetapi kita selalu bisa menentukan sikap kita atas situasi yang sedang terjadi". Setiap situasi pasti memiliki makna, penderitaan sekalipun dapat bermakna. "Sesungguhnya bukan peristiwa/hal yang meresahkan kita, tetapi pikiran kita sendiri mengenai peristiwa atau hal tersebut"-Epictetus.
Setelah aku merasa bisa berdamai dengan diri sendiri, aku mulai mencoba memperbaiki komunikasiku dengan orang tua. Aku belajar melepas ego dan rasa gengsi dengan memulai terlebih dahulu membangun komunikasi dan terbuka dengan orang tua. Aku belajar untuk lebih banyak mendengarkan dan mengerti orang lain termasuk orang tuaku dan tidak memaksakan mereka untuk mengerti diriku. Aku mencoba belajar menjadi kakak yang baik dan menjadi panutan yang baik bagi adik-adikku dengan tulus, dapat menjadi teman bagi mereka saat senang maupun susah. Aku berjanji pada diri sendiri, kalau aku tidak akan membiarkan kedua adikku merasakan kesulitan dan kesedihan seperti yang aku rasakan sendirian. Cukup aku aja yang ngerasain.
Aku bersyukur, dengan aku merubah diri justru akhirnya keadaan juga perlahan ikut mulai membaik, meskipun permasalahan tetap ada dan biar bagaimanapun yang namanya hidup pasti memang ngga pernah lepas dari masalah. Semua ini terjadi melalui proses yang panjang. Tidak semudah itu untuk menerima segala situasi yang terjadi. Aku sendiri saat ini merasa cukup bahagia meskipun keadaan belum terlalu banyak berubah. Kebahagian sejati itu datangnya bukan dari orang lain (bukan dari orang tua, bukan dari temen, bukan dari pacar, dsb), melainkan kebahagiaan sejati itu datangnya dari diri kita sendiri, dari pemikiran kita sendiri. So, this is my story about family. I love my family unconditionally, the only thing I want to do is make them happy as much as I can without putting my happiness aside. Because before making other people happy, we must first be happy.
Sekian. Thank you !
*Tulisan lama yang akhirnya dirilis juga :)
Tidak ada komentar: